banner 728x250
Berita  

Editorial Opini Media “One Piece” dan Lenyapnya Imajinasi Kebangsaan Kita Oleh: arianto Kadir (Pemerhati Budaya dan Politik Simbolik)

banner 120x600
banner 468x60
Spread the love

 

Pikiranrakyatnusantara.com, Di saat bangsa ini sedang berjibaku menata ulang kedaulatannya, dari pangan, energi, hingga ruang hidup rakyat kecil, tiba-tiba publik digiring untuk membicarakan sesuatu yang jauh dari esensi, yaitu, kemunculan simbol One Piece dalam rangkaian acara menjelang peringatan Hari Kemerdekaan.

banner 325x300

Simbol tersebut bukan hanya tidak relevan dengan konteks sejarah bangsa, tapi juga menjadi sinyal krisis kesadaran simbolik, sekaligus mencerminkan defisit imajinasi kebangsaan yang kian mengkhawatirkan.

Bagi sebagian orang, simbol One Piece mungkin terlihat remeh, sekadar referensi budaya populer Jepang yang sudah akrab di kalangan generasi muda. Namun dalam perspektif semiotik dan politik simbol, kemunculan lambang budaya asing pada momen sakral kenegaraan bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele.

Sejarah mencatat bahwa simbol bukan sekadar gambar; ia adalah representasi nilai, narasi, dan arah perjuangan. Maka ketika negara membiarkan tokoh fiksi bajak laut asing muncul dalam ruang peringatan proklamasi kemerdekaan, yang dipertaruhkan bukan hanya selera estetika, tetapi jati diri kolektif bangsa.

Simbol asing bisa saja masuk sebagai bagian dari dialog budaya, tapi ketika ia menggantikan narasi perjuangan lokal dalam momen negara, maka itu bisa dibaca sebagai bentuk soft invasion kultural yang tak disadari.

Lebih dalam lagi, ini juga bisa dilihat sebagai bagian dari strategi pengalihan isu kolektif. Di saat rakyat sedang menuntut kejelasan soal harga beras, subsidi BBM, akses pupuk, dan kebijakan tambang yang mengepung tanah-tanah adat, publik malah digiring untuk ribut soal karakter anime. Dari sini terlihat jelas bagaimana ruang simbolik dimanipulasi untuk menutupi ruang substansial.

Yang lebih ironis, semua ini terjadi di tengah kegaduhan politik nasional yang kian menjauh dari cita-cita kemerdekaan. Debat politik hanya jadi ajang saling sindir dan saling bunuh karakter. Tidak ada visi tentang kedaulatan, tidak ada gagasan tentang keadilan sosial. Dan ketika elite sudah kehabisan narasi, maka yang dijual adalah visualisasi kosong yang tidak membangun kesadaran bangsa.

Momen Proklamasi seharusnya menjadi panggung untuk menegaskan kembali siapa kita sebagai bangsa. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sebuah kemunduran kultural di mana karakter fiksi dijadikan pengganti pahlawan sejati. Di titik ini, publik wajib bersuara. Kita tidak boleh diam saat proklamasi digeser menjadi panggung pop culture global tanpa ruh nasionalisme.

Editorial ini bukan anti terhadap budaya populer. Kita sadar, anak muda hari ini hidup dalam arus global yang tidak bisa ditolak. Tapi justru karena itu, negara dan masyarakat sipil harus lebih bijak: bagaimana menghadirkan simbol-simbol populer yang tetap terhubung dengan nilai-nilai lokal, bukan sebaliknya, menyingkirkan simbol kebangsaan demi tren sesaat.

Kita butuh generasi yang bangga menjadi Indonesia. Bukan sekadar penggemar anime, tapi juga pewaris nilai-nilai perjuangan. Bukan cuma paham alur cerita One Piece, tapi juga mengerti alur sejarah pembebasan bangsa.

Karena jika kita tak mampu lagi membedakan mana simbol perjuangan dan mana simbol konsumsi budaya global, maka bisa jadi suatu hari nanti kita akan memperingati kemerdekaan tanpa tahu apa arti “merdeka.”

#sorotan #jangkausemua
#onepiece
#perangsimbol

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *