banner 728x250
Berita  

Astaga Diduga Kepala Samsat Saumlaki Bersikap Arogan Terhadap Wartawan PWI Tanimbar Di Tengah Razia

banner 120x600
banner 468x60
Spread the love

Saumlaki,/Pikiranrakyatnusantara.com.
Sebuah insiden yang memicu kekhawatiran serius terhadap kebebasan pers terjadi pada Selasa (12/8/2025) di ruas Jalan Pasar Lama, Kelurahan Saumlaki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Seorang wartawan anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kepulauan Tanimbar, Petrus Livurforfaan, menghadapi sikap arogan dan tidak kooperatif dari Kepala Samsat Saumlaki, Anita Patiselano, ketika sedang melakukan peliputan razia kendaraan bermotor. 12/08/2025

Sekitar pukul 10.00 WIT, tim gabungan Samsat Saumlaki menggelar operasi penertiban kendaraan di titik strategis jalur padat, memeriksa kelengkapan dokumen seperti STNK dan bukti pajak. Arus lalu lintas sempat tersendat, sementara petugas memberhentikan kendaraan satu per satu.

banner 325x300

Di tengah suasana yang mulai tegang karena beberapa pengendara menunjukkan ekspresi keberatan, Petrus mendokumentasikan jalannya razia dengan kamera. Ia mengaku tengah mengumpulkan bahan untuk laporan berita yang akan diterbitkan hari itu.

Ketegangan memuncak ketika Petrus berupaya mendekati Kepala Samsat Anita Patiselano untuk meminta keterangan resmi mengenai tujuan operasi dan capaian sementara. Namun yang terjadi justru jawaban sinis bernada tinggi dari sang pejabat: “Foto banyak-banyak.”

Petrus mengaku telah memperkenalkan diri, menunjukkan kartu pers, dan menjelaskan maksud peliputannya. Namun, upaya tersebut tak membuahkan hasil. Anita tetap menolak memberikan keterangan resmi, bahkan mempertahankan nada bicara yang meninggalkan kesan merendahkan profesi wartawan.

“Ini bukan sekadar menolak diwawancara. Sikap seperti itu, di tengah situasi publik yang sedang disorot, seolah ingin membungkam atau meremehkan kerja jurnalistik,” ujar seorang rekan Petrus yang ikut menyaksikan peristiwa tersebut.

Bagi kalangan pers lokal, insiden ini bukan hal sepele. Tindakan tidak kooperatif—apalagi disertai nada marah—terhadap jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya berpotensi menghalangi kerja pers. Dan hal itu memiliki konsekuensi hukum yang jelas.

“Pers yang sah secara hukum bertugas menjalankan fungsi negara dalam hal menyampaikan informasi publik. Menghalangi kerja pers sama dengan menghalangi tugas negara, yang diatur sanksinya dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Pers Nomor 40 Tahun 1999,” tegas salah satu pengurus PWI Kepulauan Tanimbar.

Pasal tersebut menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kegiatan jurnalistik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”

Artinya, peristiwa di Jalan Pasar Lama itu tidak hanya persoalan etika komunikasi, tetapi juga berpotensi masuk ranah pidana. Bagi jurnalis, nada sinis seorang pejabat saat diminta keterangan publik adalah sinyal alarm: ada pihak yang mungkin ingin menutup informasi atau mengendalikan narasi.

Hingga berita ini diturunkan, baik pihak Samsat Saumlaki maupun Kepala Samsat Anita Patiselano belum memberikan klarifikasi resmi. Diamnya pihak terkait semakin memicu tanda tanya di kalangan masyarakat dan komunitas pers.

PWI Kepulauan Tanimbar menyatakan akan menempuh jalur klarifikasi untuk memastikan duduk perkara, namun tidak menutup kemungkinan membawa masalah ini ke ranah hukum jika terbukti ada upaya menghalangi kerja pers.

“Komunikasi yang baik antara pers dan pejabat publik sangat penting. Jika pejabat bersikap defensif dan menolak transparansi, ini akan membuka ruang bagi spekulasi liar. Dan itu justru merugikan semua pihak,” kata pengurus PWI lainnya.

Insiden ini menjadi pengingat pahit bagi insan pers di daerah bahwa kebebasan pers bukan sekadar hak, melainkan mandat konstitusi. Mengabaikan atau melawan mandat ini berarti mengkhianati prinsip keterbukaan informasi yang dijamin negara.

Bagi Petrus, peristiwa ini bukan hanya soal harga diri profesi, tetapi juga pertaruhan bagi masa depan kebebasan pers di Kepulauan Tanimbar. “Kalau hal seperti ini dibiarkan, besok-besok bisa saja wartawan diintimidasi di lapangan, dan itu akan mematikan fungsi kontrol publik,” ungkapnya.

Ketika undang-undang telah menggariskan sanksi tegas bagi siapa pun yang menghalangi kerja jurnalistik, publik berharap insiden ini menjadi pelajaran bahwa kekuasaan tidak boleh digunakan untuk membatasi akses informasi. Sebaliknya, pejabat publik seharusnya menjadi mitra pers dalam memastikan informasi tersampaikan secara benar dan utuh.

Namun hari itu, di Jalan Pasar Lama, yang terlihat justru kebalikan dari semangat tersebut. Sebuah potret kecil yang mencerminkan ancaman besar: bahwa kebebasan pers bisa terkikis, bukan oleh sensor resmi, tetapi oleh sikap arogan di lapangan.(MM.79)

Melkianus.Natar

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *