Penulis: Monica Nathan
Pikiranrakyatnusantara.com – Peristiwa rusuh di Jakarta dan sejumlah tempat pada akhir Agustus hingga awal September 2025, bukanlah bualan belaka, terkait dengan perilaku Anggota DPR RI yang suka dengan retorika basi. Persoalan rakyat di Rempang dan persoalan perobohan Hotel Purajaya, dijadikan latar teatrikal badut Senayan, khususnya wakil dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kepri.
Jakarta masih bergemuruh dengan gelombang aksi. Rakyat turun, warna pink-hijau bermunculan, tuntutan pun dirumuskan. Namanya: 17+8 Tuntutan Rakyat.
Di atas kertas, gerakan ini terdengar rapi. Sebanyak 17 poin jangka pendek, ditagih dalam 5 hari. Dan, sebanyak 8 poin jangka panjang, ditarget setahun. Total 25 tuntutan. Simbolik, karena 17+8 merujuk pada 17 Agustus (Hari Proklamasi)
Tapi di balik rapinya formulasi itu, muncul pertanyaan besar: Greget (kemauan yang kuat untuk melakukan sesuatu)-nya di mana?
Reaktif, Bukan Solutif
Isi tuntutan jangka pendek sebagian besar reaktif:
• bebaskan demonstran,
• hentikan kriminalisasi,
• tarik TNI ke barak,
• bentuk komisi independen investigasi korban demo.
Penting, tapi itu hanya respon terhadap efek demo. Padahal rakyat turun ke jalan bukan semata soal prosedur demo. Mereka marah karena ekonomi macet, mafia merajalela, dan DPR inkompeten, arogan dengan gaji serta fasilitas mewah.
Proses, Bukan Hasil
Tuntutan jangka panjang juga problematis:
• ‘Reformasi DPR.’
• ‘Reformasi partai politik.’
• ‘Audit independen.’
• ‘Sahkan UU Perampasan Aset Koruptor.’
Bagus di atas kertas, tapi terlalu open ended.
Tidak outcome-driven (berfokus pada pencarian solusi).
DPR bisa dengan mudah bilang: ”Kami sedang proses.”
Tapi ujungnya? Masuk laci.
Belajar dari Panja
Contoh paling gamblang: Panja Mafia Tanah yang dibentuk DPR.
Panja Komisi VI dibuat untuk evaluasi tata kelola lahan Batam.
Panja Komisi III dibentuk untuk melawan mafia tanah.
Mandatnya kuat, bisa panggil pejabat, bisa buka data, bisa tindaklanjuti kasus.
Tapi enam bulan berlalu, hasilnya nol besar.
Purajaya tetap rata dengan tanah.
Teluk Tering sepertinya tetap direklamasi.
Mafia tetap berjaya.
Kalau Panja yang sekuat itu saja mandul, apa jaminannya 17+8 yang sifatnya lebih abstrak akan berhasil?
Moratorium Reklamasi: Antara Show Off dan Realita
Wakil Wali Kota Batam sempat mengumumkan moratorium reklamasi. Secara teori, artinya semua proyek reklamasi dihentikan sampai audit selesai. Tapi faktanya, pancang-pancang tetap tegak di Teluk Tering.
Publik pun curiga:
• Kalau benar ada moratorium, kenapa pancang-pancang tidak dicabut
• Kalau tanpa restu diam-diam dari BP Batam, mustahil proyek reklamasi bisa jalan.
Alhasil, moratorium itu dipandang masyarakat hanya show off politik.
Gertakan simbolis, tapi nihil daya.
Suara Rakyat Batam: Cabut Mandat DPR/DPD Kepri
Kemarahan rakyat tidak hanya soal tuntutan nasional.
Di Batam, masyarakat mulai menyasar langsung wakil mereka sendiri di Senayan.
Sebuah percakapan publik yang beredar menunjukkan ajakan untuk membuat petisi mencabut mandat atau menyatakan mosi tidak percaya kepada empat anggota DPR RI dan empat anggota DPD RI dari dapil Kepri.
Alasannya gamblang:
keberadaan mereka di Senayan tidak menguntungkan dan tidak bermanfaat bagi rakyat Kepri.
“Sudah saatnya kita gerak,” tulis seorang tokoh dalam percakapan itu.
Ajakan ini menunjukkan betapa dalam ketidakpercayaan itu—
wakil rakyat dianggap hanya nama di kursi, bukan suara di Senayan.
Teguran Keras
Rakyat sudah jenuh dengan janji proses. Mereka butuh bukti hasil. Angka 17+8 akan dinilai bukan dari jumlah poin, tapi dari outcome konkret.
Kalau DPR hanya menjawab dengan ”kami sedang proses,” itu artinya 17+8 hanyalah Panja jilid dua: penting di kertas, basi di kenyataan.
Rakyat bisa memaafkan proses panjang, tapi tidak ada kesabaran untuk janji kosong.
Kalau benar ingin reformasi, mulailah dari outcome yang bisa dilihat rakyat. Purajaya adalah ujiannya. Kepercayaan masyarakat Kepri adalah taruhannya.
Tanpa tindak lanjut nyata, semua ini hanya meninggalkan satu hal: api dalam sekam. Diam di permukaan, tapi siap membara kapan saja.
Narasi yang keluar dari mulut anggota DPR tidak menyentuh substansi masalah rakyat. Ambyar semuanya!
Profil penulis: Monica Nathan, konsultan di bidang teknologi informasi. Hidup di dunia modern, tapi hatinya selalu kembali pada akar: Melayu dan Indonesia.
Reporter : Redaksi