banner 728x250

Kodat86 Minta KPK Ambil Alih Kasus Korupsi Honorer Fiktif DPRD Kepri yang Mandeg

banner 120x600
banner 468x60
Spread the love

Jakarta,pikiranrakyatnusantara.com – Ketua LSM Kodat86, Ta’in Komari minta KPK untuk mengambil alih kasus korupsi honorer fiktif di DPRD Provinsi Kepri, yang pernah diproses Polda Kepri namun mandeg hingga saat ini. Kasus yang mencuat tahun 2023 lalu itu tidak ada kabar kelanjutan pasca pergantian Dirkrimsus Polda Kepri dari Kombes Nasriadi. Kasus yang sempat meminta keterangan Gubernur Kepri Ansar Ahmad terkait SK larangan pengangkatan honorer di Lingkup Pemprov Kepri itu kiranya bakal menyeret banyak pihak, terutama Anggota DPRD Kepri periode 2019-2024.

banner 325x300

“Kasus tersebut harusnya sudah tuntas, sebab unsur korupsi dalam kasus honorer fiktif itu sudah terpenuhi, tapi kasusnya justru tidak ada kabar hingga saat ini. Maka itu, kami minta KPK untuk mengambil alih kasus honorer fiktif di sekretariat DPRD Provinsi Kepri tersebut,” kata Cak Ta’in, panggilan lelaki asal Jawa Timur tersebut kepada media Selasa (25/2).

Menurut Cak Ta’in, kasus dugaan korupsi honorer fiktif di sekwan DPRD Kepri itu sudah sangat gamblang. Bukti-bukti yang ada sudah sangat jelas memenuhi syarat untuk meningkatkan kasus dengan menerbitkan SPDP dan menetapkan tersangka beberapa orang yang terlibat. Bahkan disinyalir bukan hanya pejabat ASN, tapi anggota dan pimpinan DPRD.

Kasus itu dinilai, penyidik Polda Kepri seharusnya sudah bisa meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan dan menerbitkan SPDP dan menetapkan tersangka beberapa orang, terutama penanggung jawab anggarannya. Dan karena status kasus honorer fiktif tersebut belum terbit SPDP maka KPK bisa mengambil alih dugaan korupsi yang melibatkan puluhan orang pejabat DPRD Kepri itu. “unsur pidana korupsinya sudah masuk” ujarnya.

Cak Ta’in menjelaskan, ketika penyidik menyatakan menemukan kasus honorer fiktif itu sudah menunjukkan satu alat bukti. Sebutan fiktif saja sudah mereferensikan tindakan melanggar hukum. Kemudian setelah pemeriksaan saksi-saksi langsung dan tidak langsung, ditambah dengan keterangan ahli hukum pidana, maka sudah cukup jadi alat bukti meningkatkan status ke penyidikan, menerbitkan SPDP dan menetapkan tersangka. Bahkan Gubernur Kepri Ansar Ahmad pun sudah diperiksa terkait honorer fiktif tersebut.

Lebih lanjut Mantan Dosen Unrika Batam itu menjelaskan, temuan honorer fiktif di DPRD Provinsi Kepri dari 2021-2023 itu sudah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 8, dan Pasal 9 UU No.31 tahun 1999 jo UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 263 KUHP.

“Pointernya adalah setiap orang pegawai negeri atau pejabat negara; memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi; dengan melawan hukum; menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana jabatan; dan dapat merugikan keuangan negara,” jelasnya

Cak Ta’in menegaskan, tindakan korupsi itu bukan soal jumlah atau besaran angka duit yang dikorupsi, tapi subtansi unsur tindakannya terpenuhi atau tidak. Maka dengan kalimat honorer fiktif saja sudah memenuhi unsur pidana pemalsuan, pegawai negeri atau pejabat, dan penggelapan uang, merugikan negara dan sebagainya. “Kasus ini harus dituntaskan meski beberapa pejabat yang terlibat tidak lagi menjabat, tapi masih banyak yang eksis” tegasnya.

Cak Ta’in menambahkan, jumlah honorer yang direkrut hingga sebanyak 219 orang itu saja sudah tidak wajar. Anggota DPRD Provinsi Keprinya cuma 45 orang, di sekretariat DPRD Provinsi itu pasti ada ASN-nya. Belum lagi ditambah tenaga ahli pimpinan, masing-masing komisi dan masing-masing fraksi. ” Tenaga ahlinya saja bisa puluhan orang, ini ditambah tenaga honorer sebanyak itu buat apa? Mau mengerjakan apa? Maka indikasi manipulatif sangat kental di situ,” urainya.

Yang lebih menarik, lanjut Cak Ta’in, kalau dibuka aliran dananya akan ditemukan tindakan yang aneh-aneh juga oleh pejabat negara tersebut. Tidak mungkin hanya pejabat ASN yang menggunakan dana anggaran dari honorer fiktif tersebut, di mana pengguna anggaran adalah pimpinan dewan. “Kita akan sampaikan ke KPK secara resmi bagaimana modus korupsi honorer fiktif itu dilakukan. KPK ambil alih dulu kasusnya. Tapi beberapa modus yang terendus aliran dana itu digunakan untuk membiayai wanita simpanan pejabat terkait, membiayai sopir dan pembantu pribadi pejabat, membiayai jalan-jalan istri pejabat dan keluarganya, hingga seorang pejabat yang memiliki cafe memasukkan pegawainya dalam daftar honorer fiktif tersebut,” pungkas Cak Ta’in.

Reporter : Redaksi

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *