banner 728x250

“Suara Sunyi Nelayan Tradisional Kota Bitung Sulawesi Utara ”

banner 120x600
banner 468x60
Spread the love

Bitung Sulut – Di antara denting perahu kayu yang dihantam ombak dan desir angin yang mengalun dari Laut Maluku, ada kisah pilu yang jarang terdengar kisah para nelayan tradisional Bitung yang perlahan terpinggirkan di tanah leluhurnya sendiri. Mereka bukan hanya penangkap ikan; mereka adalah penjaga laut, pewaris kearifan bahari yang telah turun-temurun hidup berdampingan dengan laut, memahami arus tanpa peta, membaca musim tanpa satelit. 13/06/2025

banner 325x300

Namun kini, laut yang dulu ramah, seolah menjadi asing. Kebijakan zonasi laut yang digagas negara dengan niat “pengelolaan berkelanjutan” justru menempatkan mereka di luar peta. Wilayah tangkap yang dahulu bebas mereka jelajahi kini dibatasi garis-garis administratif yang dingin dan kaku. Laut mereka dipetakan ulang tanpa suara mereka.

“Ini laut kami sejak dulu,” keluh Pak Dominggus, nelayan dari pulau Lembeh, sambil menunjuk ke cakrawala. “Tapi sekarang, kami dianggap pendatang di laut sendiri.”

Nelayan tradisional tak punya alat tangkap modern. Mereka tidak memiliki modal besar, izin yang berlapis, atau peta digital yang rumit. Yang mereka miliki hanyalah jaring, perahu sederhana, dan pengetahuan turun-temurun. Namun itulah yang hari ini dianggap “tidak efisien”, “tidak kompetitif”, bahkan dianggap “melanggar zonasi”.

Mereka tak dilibatkan dalam perencanaan, tak diberikan ruang dalam diskusi. Padahal merekalah yang paling tahu bagaimana menjaga laut tanpa merusaknya. Ikan-ikan yang kini diburu kapal-kapal besar dalam zona industri adalah ikan-ikan yang dahulu mereka pelihara lewat kearifan lokal: tidak menangkap saat musim bertelur, tidak merusak terumbu, tidak membuang sampah ke laut.

Ironisnya, nelayan kecil yang menjaga, justru yang diusir. Yang merusak, diberi izin. Yang lemah, ditekan. Ini bukan lagi sekadar soal zonasi, ini soal keadilan.

Di banyak kampung pesisir Bitung, anak-anak nelayan kini tumbuh dengan tanda tanya di benak mereka: “Apakah laut akan tetap menjadi rumah kami, atau hanya tinggal cerita dari kakek dan ayah kami?”

Keadilan bukan hanya soal aturan yang diterapkan, tapi tentang siapa yang diajak bicara, siapa yang diberi tempat. Negara tak boleh menutup telinga dari suara-suara kecil nelayan yang hidupnya digerus pelan oleh kebijakan yang tak berpihak. Sebab bila mereka hilang, yang hilang bukan hanya profesi, tapi sebuah cara hidup, budaya, dan keharmonisan manusia dengan alam.

By. Bang, AK

MM.79

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *