banner 728x250

Kezaliman di Tanah Melayu: Perobohan Hotel Pura Jaya Batam Dikecam Tokoh Adat, Mafia Lahan Wajib di Usir Secara Adat

banner 120x600
banner 468x60
Spread the love

Batam,pikiranrakyatnusantara.com – Gelombang kemarahan kini mengguncang Kepulauan Riau. Masyarakat Melayu, yang selama ini dikenal sabar dan beradat, kini mulai bersuara lantang. Mereka menilai apa yang terjadi di Nongsa perobohan Hotel Bintang Lima Pura Jaya bukan sekadar persoalan bisnis, melainkan bentuk kezaliman yang mengoyak marwah Melayu di tanah sendiri.

Tindakan PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) bersama Badan Pengusahaan (BP) Batam, yang mencabut hak pengelolaan lahan dan merobohkan hotel megah tersebut pada 21 Juni 2023, kini menuai kecaman keras dari tokoh adat, pengusaha lokal, hingga aktivis anti-mafia tanah.

banner 325x300

Simbol Kejayaan yang Dihancurkan

Hotel Pura Jaya bukan sekadar bangunan beton dan kaca. Ia adalah monumen kejayaan ekonomi putra Melayu.

Didirikan oleh Zulkarnain Kadir seorang saudagar Melayu tempatan hotel ini menjadi ikon pariwisata Batam sejak 1996. Nilai investasinya mencapai lebih dari Rp600 miliar, menyerap ratusan tenaga kerja, dan menjadi satu-satunya hotel bintang lima yang seluruh sahamnya dimiliki oleh pengusaha pribumi.

Namun pada 21 Juni 2023, seluruh bangunan itu rata dengan tanah.

BP Batam bersama PT PEP mengeksekusi pembongkaran tanpa menunggu hasil akhir proses hukum.

“Saya sudah menyampaikan kepada banyak tokoh daerah hingga nasional. Semua geleng kepala melihat kezoliman yang dilakukan BP Batam dan PT PEP. Hotel ratusan miliar dirobohkan tanpa putusan pengadilan. Ini bukan hanya kesalahan administratif ini pengkhianatan terhadap Melayu,”

tegas Gerisman Ahmad, Ketua Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang–Galang.

Gerisman menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk penistaan terhadap warisan ekonomi Melayu.

“Hotel itu bukan milik asing. Itu milik anak negeri yang membangun dari nol. Tapi seolah pengusaha Melayu tak berhak hidup di tanahnya sendiri,” ujarnya dengan nada getir.

“Tanpa Putusan Hukum, Tapi Dirobohkan”

Kemarahan masyarakat Melayu beralasan.

Direktur Utama PT Dani Tasha Lestari (DTL), Megat Rury Afriansyah, pemilik sah Hotel Pura Jaya, mengungkapkan bahwa pembongkaran dilakukan dengan dasar surat BP Batam Nomor: B-2441/A3.1/KL.02.02/6/2021, tertanggal 30 Juni 2021.

Surat itu menuntut agar PT DTL mengosongkan lahan — padahal sengketa hukum masih berjalan dan belum inkrah.

“Kami masih berproses di pengadilan, belum ada keputusan final. Tapi hotel sudah diruntuhkan. Tidak ada surat eksekusi dari pengadilan. Kepala BP Batam bertindak seolah di atas hukum,” ungkap Rury.

Ia menegaskan, tindakan tersebut melanggar asas keadilan dan due process of law.

“Ini bukan sekadar sengketa bisnis. Ini contoh nyata bagaimana kekuasaan bisa menindas hak ekonomi warga negara. Kami bukan penumpang di negeri sendiri,” ujarnya.

Dugaan Kolusi dan Mafia Lahan

Gerisman Ahmad menilai, di balik kasus ini tersembunyi skenario terstruktur antara penguasa dan pengusaha untuk menguasai lahan strategis di Nongsa.

“Ini bukan kebetulan. Ada kolusi antara BP Batam dan PT PEP. Lahan yang sebelumnya dikelola pengusaha Melayu, tiba-tiba dicabut dan dialihkan. Ada kepentingan besar di balik ini,” tegasnya.

Ia mendesak KPK dan Polda Kepri turun tangan mengusut tuntas kasus ini.

“Negara seharusnya melindungi investor rakyat, bukan menghancurkannya. Kalau lembaga pemerintah menjadi bagian dari persekongkolan, maka ini sudah masuk ranah kejahatan kekuasaan,” tambahnya.

Beberapa pengamat hukum di Batam juga menyoroti indikasi penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan surat pengosongan lahan tanpa dasar hukum yang kuat.

Mereka menilai langkah BP Batam menyerahkan lahan ke pihak lain setelah pembongkaran justru memperkaya kelompok tertentu, bukan negara.

Suara Rakyat dan Amarah Adat

Kemarahan masyarakat Melayu kini semakin bergema.

Tokoh perempuan sepuh, Siti Hawa alias Nek Awe (70 tahun), dengan suara bergetar mengatakan bahwa kezaliman terhadap pengusaha Melayu adalah penghinaan terhadap seluruh orang Melayu.

“Megat Rury itu saudagar Melayu yang berjuang dari bawah. Dia bangun hotel itu dengan keringat dan doa. Tapi dirobohkan tanpa hukum, tanpa keadilan. Kalau Melayu dizalimi, berarti seluruh Melayu dizalimi,” ujar Nek Awe.

Ia menegaskan bahwa Melayu bukan bangsa yang takut, tapi bangsa yang beradab.

“Kami sabar, tapi bukan berarti kami diam. Jika hak-hak orang Melayu terus diinjak, jangan salahkan bila amuk Melayu bangkit menuntut keadilan,” tegasnya lantang.

Kebijakan yang Menyimpang dari Keadilan

Kasus Pura Jaya kini menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan kebijakan pembangunan di Batam, di mana kepentingan elite sering kali mengorbankan pengusaha lokal.

BP Batam sebagai lembaga negara yang mengelola tanah di pulau industri tersebut, dinilai lebih berpihak kepada korporasi besar dan investor asing, dibanding memperjuangkan hak pengusaha tempatan.

Padahal, di atas kertas, BP Batam memiliki mandat untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan demi kesejahteraan masyarakat lokal.

Namun praktik di lapangan justru memperlihatkan arah sebaliknya: rakyat disingkirkan, kekuasaan diperluas.

Simbol Perlawanan Baru dari Tanah Melayu

Hotel Pura Jaya mungkin telah rata dengan tanah, tapi semangat perlawanan masyarakat Melayu kini justru bangkit lebih kuat.

Kasus ini bukan lagi sekadar tentang tanah, melainkan tentang hak moral, harga diri, dan keadilan.

“Kami tidak menolak pembangunan, tapi pembangunan tanpa keadilan hanyalah penjajahan model baru,” tegas Gerisman Ahmad.

Seruan pun kini menggema: agar aparat penegak hukum, termasuk KPK dan Kejaksaan Agung, membuka penyelidikan terhadap dugaan mafia lahan yang beroperasi di balik proyek-proyek strategis Batam.

Sebagai Catatan :

Kasus Hotel Pura Jaya adalah potret buram bagaimana kebijakan ekonomi yang seharusnya berpihak pada rakyat justru dijadikan alat penindasan.

Ketika hukum tunduk pada kekuasaan, maka kebenaran menjadi korban, dan rakyat kehilangan kepercayaannya terhadap negara.

Keadilan bukan sekadar bunyi pasal, melainkan keberanian menegakkan kebenaran meski harus melawan penguasa.

Dan di tanah Melayu yang beradat ini, keberanian itu mulai menyala.

Reporter : Redaksi

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *